Posted by : AnovA Monday 17 June 2013

Sastra identik dengan dunia tulis menulis. Hal tersebut senada dengan etimologi sastra yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Alih bahasa ke bahasa inggris, sastra diartikan sebagai literature, berasal dari kata litterae yang berarti "seni tulisan" dan biasanya merujuk ke tulisan yang diterbitkan.
 
Nah, kembali ke masalah tulis menulis. Sebagai mahasiswa sastra sebenarnya saya agak minder dengan kualitas tulisan saya. Memang, saya bisa menulis dengan runtut dan tata cara penulisan sesuai dengan petunjuk buku EYD yang banyak tersedia dipasaran. Nah, ketika saya sebagai mahasiswa yang sering muter-muter di jagad maya dan berkunjung sebagai silent reader di beberapa blog secara random, saya menemukan banyak sekali tulisan, artikel, dan yang isinya oke, sekaligus dikemas dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami. Dari segi kepresisian makna, terkadang memang kurang pas, tapi bagi orang awam sangat mudah untuk dipahami.
 
Saya pernah dikomentari oleh @intan_nugrahani ketika saya memintanya untuk melakukan proof-read salah satu calon tulisan saya. Tulisan saya tersebut berisi opini kepada salah satu jenis tayangan televisi. Latar belakang dek @intan_nugrahani sebagai lulusan Ilmu Komunikasi dan kebetulan bekerja di ranah media itulah yang membuat saya memintanya untuk melakukan proof-read. Komentarnya sederhana, "Khas cah Sastra." Eh? Maksudnya gimana tuh? Menurutnya, tulisan saya terlalu banyak menggunakan kata-kata teknis tanpa penjelasan yang memadai. Saya dengan gengsi pun melakukan pledoi berdalih menggunakan diksi yang terkesan rumit itu atas nama kepresisian makna.
 
Apa yang salah dengan tulisan saya? Ego! Ya, Ego. Ego untuk memperlihatkan, iki lho aku pinter. Iki lho, aku menggunakan kata-kata sophisticated untuk menerangkan pada anda. Anda nggak ngerti? Coba belajar lagi deh. Ego itulah yang mengkerdilkan tulisan saya.
 
Saya masih ingat jelas, Dosen Pembimbing Skripsi saya banyak menuliskan "Susun dengan kalimat yang mudah, sehingga pembaca lebih tahu maksudnya", dalam lembaran-lembaran draft skripsi saya. Entah, ada yang salah dengan otak saya atau minusnya kemampuan saya untuk mengkomunikasikan kekarepan saya dalam bentuk tulis yang membuat saya menemukan tulisan tersebut dalam draft skripsi saya. Namun, tulisan itu mengingatkan saya bahwa skripsi saya itu bukanlah milestone untuk dinikmati sendiri, skripsi saya kelak (mungkin) akan dipakai sebagai acuan oleh adek-adek kelas saya yang lucu-lucu itu.
 
Permasalahan ego tersebut juga mengingatkan saya akan pertemuan random saya dengan mbak @herlinatiens di bonbin sastra. Selama ini saya menganggap bahwa penulis melacurkan idealismenya kepada penerbit. Hanya penulis yang sudah punya nama (dan tentu saja pernah melacurkan diri pada penerbitlah) yang mempunyai bargaining position lebih untuk memperjuangkan idealisme tulisannya. Namun sebagai penulis yang tentu jauh lebih tahu seluk beluk dunia penerbitan dari pada saya yang sok tahu, beliau (seingat saya) berkata "kalo memperjuangkan idealisme saja, karya saya mungkin hanya dibaca teman-teman saya". Kalimat tersebut seolah mengingatkan saya kembali akan arti kata sastra. Tulisan yang mengandung instruksi.
 
Saya kembali berpikir, sebuah instruksi tentu saja harus sampai kepada penerima instruksi. Apa yang saya tulis akan menjadi tidak berguna ketika tulisan saya tidak dipahami oleh pembaca. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah mutu tulisan saya akan berkurang ketika memakai kata-kata yang kurang sophisticated? Jawabannya tidak. Mutu tulisan bukan sekedar menggunakan kata-kata yang indah, atau menggunakan kata-kata teknis yang sulit dipahami. Idealisme anda tidak akan tersampaikan kalau idea yang menjadi dasar kata idealisme, tidak tersampaikan. Nonsense! Ketersampaian kekarepan yang ingin disampaikan itulah yang menjadi tujuan sastra. Kata-kata sederhana, masih dapat mengiris tajam permasalahan-permasalahan rumit yang ingin disampaikan. 

Membuat pembaca mengerti apa yang dibaca adalah prioritas pertama. Sama tidak mungkinnya mengajar aljabar kepada anak kelas satu SD tanpa mengajarkan dasar-dasar operasi hitung. Jika teks adalah instruksi maka buatlah penerima instruksi itu mengerti terlebih dahulu. Jika sudah mengerti spesifikasikan instruksi tersebut.

Semoga saya bisa menulis dengan lebih rendah hati dan jujur, tentu saja.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © anovanisme -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -