Archive for July 2013

Pacific Rim: Nostalgia Robot Masa Kecil


"There are things you can't fight - acts of God. You see a hurricane coming, you get out of the way. But when you're in a Jaeger, you can finally fight the hurricane. You can win."
—Raleigh Becket
Robot adalah salah satu fantasi manusia yang luar biasa. Melalui robot, manusia bisa menjadi dan act as God dengan menciptakan makhluk yang bisa dikendalikannya sesuka hati. Istilah Robot diciptakan oleh Karel Capek, seorang penulis asal Cekoslovakia dalam dramanya yang berjudul R.U.R pada tahun 1920. Robot berasal dari Bahasa Slavik Kuno berarti pekerja. Ya, Robot pada awal kemunculannya memang ditujukan sebagai pekerja untuk manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh karya-karya penulis Amerika Serikat Isaac Asimov (penulis I, Robot), yang sangat mempengaruhi peran robot dalam dunia narasi.

Dalam budaya populer, robot pun muncul dalam berbagai media dan berbagai ukuran. Godfather of Anime, Ozamu Tezuka melahirkan robot dalam wujud anak kecil dan menamainya Astro, dalam manga Astro Boy. Peran robot dalam Astro Boy, masih tetap menganut Three Laws of Robotics a la Asimov. Begitu pula dalam Robocop, Neon Genesis Evangelion dan Patlabor, robot ditakdirkan untuk patuh pada sang pencipta. Nah, perbedaan kelas antara robot dan manusia yang membuat kelas robot mulai memberontak dan melancarkan revolusi kelas dalam serial Terminator. Well, anda akan lebih memahami teori dua kelas-nya Marx setelah mengkhatamkan Terminator. Lalu setelah para kreator narasi tersebut puas mengombang-ambingkan peran robot sebagai protagonis dan antagonis dalam sebuah narasi, diciptakanlah peran baru bagi robot, yaitu sebagai alien dalam Transformer. Hingga kemudian, munculah Jaeger!

Guillermo del Toro, memunculkan sosok Jaeger ( [ˈjɛːɡɐ] dari bahasa Jerman yang berarti pemburu), dalam film terbarunya Pacific Rim. Del Toro mengembalikan sosok robot kembali ke khitahnya yaitu sebagai alat bantu manusia (untuk) melawan monster, yang dalam film ini disebut dengan istilah kaiju (dari bahasa Jepang yang berarti makhluk buas). Mengambil setting pada tahun 2020-an, film ini mengisahkan tentang perlawanan manusia terhadap sosok buas yang tiba-tiba muncul dari dasar pasifik. Dengan kredo "To fight monster, we create monster", maka diciptakanlah sosok mecha raksasa setinggi sekitar 80 meter (Monas tingginya 132m), yang dinamakan Jaeger. Cerita kemudian berfokus pada Raleigh Becket, seorang ranger (sebutan untuk pilot  Jaeger) yang pensiun dini dan ditarik kembali untuk menjalankan misi terakhir dalam perjuangan melawan kaiju.

Konsep ini bukanlah hal baru, kita masih ingat sosok Voltron atau Megazord-nya Power Ranger, sosok robot multi pilot yang digunakan untuk melawan monster. Namun justru pertarungan Jaeger vs Kaiju inilah yang menjadi raison d'etre dari film ini. Sebegitu pentingnya hingga pertarungan dua sosok gigantik ini di-shot dengan banyak zoom in yang cukup membuat pusing. Tetapi justru pendekatan visual yang berbeda dari Guillermo Navarro, sang Director of Photography inilah yang membuat penonton mampu melihat detil visual yang menakjubkan dari Jaeger dan Kaiju. Navarro berhasil mewujudkan keinginan del Toro untuk membuat sesuatu yang "big, beautiful and sophisticated visuals".

Pacific Rim memiliki segalanya untuk menjadi Blockbusters Movie. Mulai dari: visual efek yang luar biasa; aksi pertarungan antara robot raksasa dan monster raksasa yang bakal memukau anak-anak dan orang dewasa; pihak Amerika yang selalu menang; hingga narasi yang biasa saja. Memang narasi cerita ini cenderung datar, klise, namun logika film-nya cukup terjaga dengan baik. Del Toro (bersama Travis Beacham) membangun dengan baik mitologi Pacific Rim. Ini berlawanan dengan yang disebutkan Candra Aditya dalam reviewnya, yang mengatakan "Tidak ada satu pun yang masuk akal, misalnya apa motivasi utama para Kaiju menyerang manusia. Apakah mereka monster atau alien?". Motivasi utama para Kaiju sudah jelas untuk menjajah manusia. Itu sudah dijelaskan dalam film. Lalu pertanyaan kedua cukup dijawab dengan they both monster and alien. Monster itu esensinya ke physical appearance, berasal dari kata latin monstrum, yang berarti penyimpangan. Sementara etimologi dari alien berasal dari Bahasa Prancis Kuno alien, yang merupakan turunan dari kata latin alienus yang berarti asing, mahluk asing. Menanyakan apakah kaiju itu monster atau alien sama saja menanyakan apakah Optimus Prime itu alien atau robot.

Selain narasi film yang kurang maksimal, kekurangan film ini terletak pada kualitas akting para aktornya. Akting para aktor disini tidak terlalu istimewa. Charlie Hunnam, sebagai tokoh utama terlalu generic caucastic american hero. Sementara Idris Elba, sebagai marshall ia kurang memiliki kharisma jika dibandingkan dengan Terrence Howard atau Laurence Fishburne yang mungkin lebih terbiasa memainkan peran-peran komandan. Justru Rinko Kikuchi yang tampil menonjol dalam film ini. 

Film ini terselamatkan dengan banyaknya jokes dan dialog yang epic nan quoteable. Jokesnya nggak berlebihan, pas dan tidak kurang. Sependapat dengan Candra Aditya bahwa Pacific Rim hanya memerlukan Charlie Day dan Ron Pearlman untuk membuat seruangan bioskop tertawa. Dialog yang ditulis oleh Beacham dan del Toro mengandung banyak lines menarik. Dari "Don't get cocky kid." (Yancy pada Raleigh, yang dipinjam dari lines milik Hans Solo dalam Star Wars), hingga yang paling epic "Today, we're cancelling the apocalypse". Memang sih belum sekelas dengan epic lines seperti "This is SPARTA!" (300), "Luke,... I'm your father" (Star Wars V) atau "Why so serious?" (The Dark Knight). Tapi efeknya sama jika dibandingkan dengan "Release the Kraken!"-nya Liam Neeson.

Tapi bukan berarti film ini tidak bagus. Seperti yang dikutip di atas, mitologi Pacific Rim berhasil dibangun dengan baik oleh kedua writer tersebut. Kredit khusus perlu diberikan kepada Travis Beacham yang merilis graphic novel berjudul Pacific Rim: Tales of Year Zero, sebagai prekuel dan komplemen dari filmnya. Dengan dunia mitologi yang cukup detil, mungkin sedikit terlalu berlebihan jika menyebutnya sebagai the next star wars, namun setidaknya film ini memiliki kemampuan untuk merangkul penggemarnya. Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Meskipun film ini tidak sukses secara komersil di Amerika Serikat, justru pasar terbesar ada di luar Amerika, khususnya di Jepang dan Cina. Forum-forum penggemar pun sudah banyak dan mengharapkan munculnya sekuel dari film ini. 

Pacific Rim, adalah film yang bagus jika anda memposisikan diri sebagai penikmat summer blockbuster movies, atau anda adalah sosok yang merindukan pertarungan megah antara monster dan robot beukuran gigantik yang meluluhlantakkan sepenjuru kota. Namun jika anda seorang kritikus film, maka film ini adalah santapan anda.

AnovA
@anovanisme
Wednesday 31 July 2013
Posted by AnovA

Backstage's Notes #1: Le Fourberies de Scapin

Pre Scriptum:
Artikel ini ditulis bukan sebagai resepsi maupun review terhadap Pertunjukan Les Fourberies de Scapin, yang dimainkan oleh rekan-rekan Sastra Prancis 2011, pada tanggal 1 Juli 2013 di Auditorium FIB, UGM, sebagai Ujian Akhir Semester, mata kuliah Teori Sastra Prancis Klasik.

Di Balik Adaptasi


Semua penulis adalah peminjam. Mereka semua meminjam pengalaman, sejarah, kejadian-kejadian sehari-hari ke dalam tulisan mereka (Paller, 2010). Hal tersebut ditegaskan oleh adagium* You are what you see. Apa yang anda lihat, apa yang anda baca, apa yang anda ketahui adalah apa yang anda akan bagikan ke orang lain.

Seperti yang saya tulis dalam paragraf pertama skripsi saya, manusia sejatinya adalah homo fabulans, manusia yang bercerita, manusia yang berbagi cerita. Manusia disebut homo fabulans karena manusia mampu menyerap pengalaman diluar pengalaman langsung mereka. Hal inilah yang menyebabkan tradisi lisan berkembang sebelum akhirnya manusia memindahkan narasi mereka dalam serangkaian kode yang kemudian disebut tulisan. Cerita dalam konteks ini tentu saja adalah cerita yang bernarasi. Cerita sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, cerita asli dan cerita adaptasi.

Untuk media apapun, ketika diadaptasi ke sebuah media yang berbeda akan muncul masalah yang kurang lebih serupa. Masalah ini bersumber dari kenyataan bahwa kisah dalam media lain yang akan diadaptasi sudah dikenal oleh masyarakat, dan tentu saja sudah mencapai tingkat keterkenalan tertentu. Pengadaptasi harus bisa mendayung di antara dua karang. Karang pertama adalah kesetiaan terhadap media asal, dan karang kedua adalah penyesuaian yang dianggap perlu. Kemudian problem lain dalam adaptasi adalah pada teknik komunikasi yang dipakai.

Semua media punya metodenya masing-masing agar komunikasinya bisa sampai sesuai yang dimaksud. Buku punya kesempatan bermain gaya bahasa, mendeskripsikan pikiran orang dan sebagainya untuk mencapai kedalaman dan imajinasi. Komik punya kemampuan menjabarkan panel-panel yang mempertahankan momen dramatik dari sebuah cerita. Console game memiliki kemampuan interaktif langsung yang membuat jalan cerita dan nasib akhir tokoh protagonis ditentukan oleh pemain game tersebut (Irwansyah, 2009)

Pinjaman dari Italia
Mengadaptasi karya terkenal seperti Les Fourberies de Scapin (Penipuan-Penipuan Scapin) karya Jean-Baptiste Poquelin atau yang lebih dikenal dengan nama Moliere, menjadi sebuah tantangan tersendiri. Reputasi Moliere sendiri sebagai Bapak Komedi Prancis seolah membawa beban tersendiri berupa standar komedi macam apa yang akan diadaptasi. Komedi identik dengan pertunjukan yang menghibur, menghadirkan berbagai asosiasi yang ditarik secara ekstrem sehingga menghasilkan ketegangan yang hanya bisa dilepaskan dengan tertawa (Koeslter, 1964).

Tentu saja ada perbedaan sudut pandang mengenai komedi antara Moliere sebagai penulis asli dan kita yang membaca naskah aslinya, tiga abad berselang. Moliere hidup di abad ke-17, ia  akrab dengan theater dan pernah berbagi panggung dengan Comedia dell'arte** di Paris selama 15 tahun hingga kematiannya pada tahun 1673. Kedekatannya dengan Tiberio Fiorilli pemimpin salah satu kelompok Commedia dell'arte memiliki pengaruh besar terhadap karya Les Fourberies de Scapin yang dipentaskan 24 Mei 1671 (Paller, 2010). Sebagai catatan Tiberio Fiorilli ini adalah penemu karakter Scaramucchia, atau juga dikenal dengan nama Scaramouche, jadi bagi anda penggemar Bohemian Rhapsody dan mengira Scaramouche adalah kata ciptaan Farrokh Bulsara a.k.a Freddie Mercury, setidaknya sekarang anda tahu Scaramouche sudah ada sejak abad ke-17.

Pertunjukkan Commedia dell'arte sendiri pada umumnya menggunakan tiga arketipe penokohan: Zanni (Valet / Pembantu), Signor (Master / Tuan), dan Gli Innamorati (The Lovers / Pasangan) (Kartrizky, 2009). Arketipe penokohan itu juga diterapkan Moliere pada Les Fourberies de Scapin. Arketipe Signor diletakkan pada tokoh Argante dan Geronde, Gli Innamorati pada pasangan Octave dan Hyacynthe, juga Leandre dan Zerbinette, sedangkan Zanni pada tokoh Scapin dan Sylvestre. Bahkan nama Scapin atau Scapino dalam Bahasa Italia berasal dari kata Italia scappare yang berarti kabur (to flee). Hal ini menunjukkan kecenderungan tokoh Scapin untuk kabur ketika posisinya tidak menguntungkan dalam konflik yang ia buat sendiri. Paller (2010) berpendapat setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi banyak kedekatan antara Commedia dell'arte dan Les Fourberies de Scapin. Pertama, kekaguman Moliere terhadap Commedia dell'arte dan kedua adalah latar belakang munculnya Les Fourberies de Scapin.

Munculnya Scapin
Moliere menemukan perbedaan akting theater Prancis dan komedi theatrikal Italia. Aktor Prancis pada waktu itu terbiasa dengan akting yang statis, kaku, penuh deklamasi dengan suara yang tegas dan keras. Karya-karya populer yang berkembang pada abad ke-17, seperti karya Cyrano de Bergerac, yang kebetulan masih satu almamater dengan Moliere, cenderung membutuhkan akting seperti itu. Sementara kedekatan Moliere dengan Tiberio Fiorilli membuat Moliere mengenal akting khas Italia yang spontan dan natural. Gaya yang spontan dan kemampuan improvisasi karakter para aktor Italia tersebut masih ditambah kecerdasan mereka mengolah dialog dengan puisi-puisi yang diselipkan secara spontan di dalamnya. Dari situ Moliere mengembangkan komedi dengan gaya yang ringan, anggun, dan menekankan pada aspek fisikal akting seperti mimik wajah dan bahasa tubuh.

Yang kedua adalah latar belakang munculnya Les Fourberies de Scapin. Paller (2010) menyebutkan munculnya Les Fourberies de Scapin adalah untuk mengisi panggung theater dan menjauhi masalah. Karya terakhir Moliere sebelum Les Fourberies de Scapin adalah Psyche (1671) yang merupakan kolaborasi dengan Pierre Corneille, Phillipe Quinault dan pengolahan musik oleh Jean-Baptiste Tully. Psyche memang sukses secara finansial, namun tidak bisa dimainkan di theater secara berkesinambungan. Psyche berbentuk Drama Balet, dimainkan dengan lusinan penari dan penyanyi, juga banyak musisi. Sehingga untuk dimainkan secara terus menerus juga tidak mungkin. 

'Menjauhi masalah' dalam hal ini merujuk kepada kontroversi Tartuffe, drama karya Moliere yang ditulis pada tahun 1664 dan direvisi pada tahun 1669 karena dianggap menyinggung Gereja. Walaupun hasil revisi Tartuffe, L'Imposteur (The Imposter) menuai sukses di kalangan aristokrat Prancis. Pihak Gereja masih mengawasi gerak-gerik dan karya-karya Moliere. Moliere membutuhkan suatu karya yang ringan dan tidak menyinggung pihak manapun, dan Scapin memenuhi persyaratan tersebut.

Age of Adaptation
Pemaparan di atas semakin menguatkan kredo*** Nihil Sub Sole Novum, tidak ada yang baru di bawah matahari. Menciptakan sesuatu yang benar-benar asli hampir tidak mungkin. Hasil karya seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakangnya yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar dirinya. Seperti apa yang ditulis oleh Linda Hutcheon, kita hidup di era adaptasi. Manusia secara konstan menceritakan dan menceritakan kembali sebuah cerita, mempertunjukan dan mempertunjukan kembali sebuah pertunjukan, berinteraksi dan berinteraksi kembali dengan yang lain secara terus menerus.

Glosarium
*Adagium : Pepatah / Peribahasa
**Commedia dell'arte (Comedy of the art) : komedi teatrikal dari Italia, sangat populer pada masa itu di Prancis,  terkenal dengan improvisasi karakter dan penekanan pada akting fisikal
*** Kredo : Pernyataan kepercayaan

Daftar Pustaka:
Hutcheon, Linda. 2006. A Theory of Adaptation. London: Rouledge.
Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Katrizky, M.A. 2006. The Art of Commedia: A Study in the Commedia dell'Arte 1560–1620 with Special Reference to the Visual Records. New York: Editions Rodopi.
Koeslter, Arthur. 1964. The Art of Creation. London: Hutchinson.
Puller, Michael. 2010. Word of Play: Scapin. San Francisco: American Conservatory Theater.
Thursday 4 July 2013
Posted by AnovA

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © anovanisme -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -