Trivia Si Doel #1

Sebagai bentuk pertanggungjawaban saya sebagai anggota CSDS, maka dengan ini saya kumpulken twit berhashtag #TriviaSiDoel yang sudah ditwitken oleh anggota CSDS. Berhubung saya yang memulai hashtag #TriviaSiDoel, maka sesuai dengan sabda Rhoma Irama dalam lagu Kegagalan Cinta "Kau yang mulai, kau yang kompilasi" dengan ini saya persembahken #TriviaSiDoel bagian pertama:

@masjaki 8 Oct
Keluarga Doel dr Kong Ali, Babe Sabeni, smp Mandra tidak ada yg merokok #TriviaSiDoel


@masjaki 4 Oct
Sebelum Beirut jd panutan band2 indie masa kini, Atun sdh selangkah lebih maju dgn belajar trombon smp kejepit #TriviaSiDoel
  

@masjaki 4 Oct
Sbg anak mobil Jakarta, Doel anti mainstream. Nongkrongnya bukan di Asia Afrika tp di Cinere Gandul #TriviaSiDoel
 

@masjaki 4 Oct
Sbg mahasiswa, Doel dikenal dkt dgn wong cilik. Bukan krn dia anak BEM, tp emang tongkrongannya di pangkalan oplet #TriviaSiDoel

@masjaki 20 Sep
@nuranwibisono sempat menggondrongkan rambut, katanya terinspirasi Mandra yg bs gaet cewek dgn rambut gondrong #TriviaSiDoel
 

@masjaki 19 Sep
Bang Sabeni gak mau nukar Opletnya dgn Suzuki "Angkot" , apalagi dgn mobil murah akal2an pemerintah #TriviaSiDoel
 

@masjaki 18 Sep
Ngerasa hebat kerja di oil & gas company?hebat mana sm Doel yg nolak Pertamina demi nurutin perintah Babenya? #TriviaSiDoel
 

@fakhmi_wasis 18 Sep
"@masjaki: Doel tdk pernah melamar kerja sbg PNS #TriviaSiDoel" ngelamar di Trakindo, trs di kantor Kakak nya Andre, di kantronya om Wisnu
 

@masjaki 18 Sep
Doel tdk pernah melamar kerja sbg PNS #TriviaSiDoel
 

@masjaki 30 Aug
Nama pemeran Roy adalah Joni Irawan (alm.). Sehari-hari jd pengacara yg merangkap jd legal officer utk produksi Si Doel #TriviaSiDoel
 

@masjaki 30 Aug
Nama pemeran Hans, sepupu Sarah yg jg sobat Doel, adalah Adam. Warga Negara Malaysia ngeDJ di klab malam Stardust, Jkt #TriviaSiDoel


@masjaki 30 Aug
Nama pemeran Munaroh adalah Maryati #TriviaSiDoel
 

@anovanisme 30 Aug
#triviaSiDoel lagu Si Doel, diciptakan oleh SjumanTiasa, untuk versi SDAS diaransemen oleh Ir. Poerwatjaraka
 

@anovanisme 18 Aug
Nama lengkap Sarah adalah Sarah van Heus ( Loven, 2008). #TriviaSiDoel
 

@masjaki 16 Aug
Kong Ali ga pernah sekalipun nyikat bribikan2 Doel yg lebih cakep. Pdhl dia tega nikung bribikan Mandra,anaknya sendiri #TriviaSiDoel
 

@anovanisme 16 Aug
Sudah dulu ya #triviasidoel nya, aye kudu melestarikan budaya dengan mengikuti tirakatan je :p
 

@anovanisme 16 Aug
#TriviaSiDoel Istilah "Tukang Insinyur" tidak ada dalam skenario. Spontan dari tuturan Benyamin S. (Loven, 2008)
 

@anovanisme 16 Aug
Kasdullah, ST; The Real Monster RT @masjaki Selain Sarah dan Zaenab, Doel jg ditaksir Sita dan diam-diam...Nunung #TriviaSiDoel
 

@anovanisme 16 Aug
Di negara aslinya, Morris MCV biasa digunakan untuk mencari nafkah, jual eskrim ato makanan. #TriviaSiDoel
 

@anovanisme 16 Aug
Harusnya Oplet Si Doel (Morris MVC) layak masuk ke Top Gear nih. Piye om @JeremyClarkson #TriviaSiDoel
 

@anovanisme 16 Aug
#triviaSiDoel Opletnya Si Doel itu Morris Cowley MCV. tahun produksi 1950-1956. cek wikipedia nek gak percoyo 


@masjaki 16 Aug
Mandra punya bbrp lagu ciptaan utk bribikan2nya. Selain lagu utk Munaroh jg ada "Ambar-Ambar Pisang" utk Ambar #TriviaSiDoel
 

@masjaki 16 Aug
Selain Sarah dan Zaenab, Doel jg ditaksir Sita dan diam-diam...Nunung #TriviaSiDoel


@masjaki 16 Aug
Oke deh maenan #TriviaSiDoel itung2 inisiasi peneliti baru CSDS bung @anovanisme
 

@anovanisme 16 Aug
#TriviaSiDoel Merk Opletnya Babeh itu Morris & Austin
Thursday 14 November 2013
Posted by AnovA

Si Doel dan Orang Jawa di Sekitarnya

Generasi yang besar di era 1990-an pasti mengenal tokoh Si Doel dalam serial Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003). Tokoh Si Doel identik dengan Rano Karno. Aktor kelahiran 18 Oktober 1960 selain karena keterlibatannya sebagai pemeran Si Doel, sekaligus sutradara dan produser serial tersebut, beliau juga memerankan tokoh Si Doel dalam film Si Doel Anak Betawi (1970) yang disutradarai oleh Sjuman Djaja. 
Rano Karno mengenal tokoh Si Doel dari kegemarannya membaca literatur-literatur klasik Balai Pustaka sejak kecil. Si Doel Anak Betawi (1932) karya Aman Datuk Madjoindo adalah salah satu yang menginspirasinya. “Si Doel adalah obsesi saya, saya sangat menyukai si Doel […] saya sangat mengidolakan Si Doel”, ungkap Rano Karno mengenai tokoh Si Doel[1]

Si Doel Anak Sekolahan sangat kental dengan budaya masyarakat betawi. Namun bukan berarti tokoh-tokoh yang berada dalam sinetron tersebut hanya diisi dengan tokoh-tokoh berlatar belakang betawi. Ada tokoh Kang Mamang si tukang kredit yang berasal dari Sunda, Koh Ahong yang berlatar belakang tionghoa dan juga Mas Karyo yang asli pekalongan. Tokoh-tokoh berlatar belakang non betawi tersebut tentu saja tidak asal muncul. Komunitas betawi memang terdiri dari bermacam-macam latar belakang. Castles (1967), menyebutkan bahwa wilayah yang dihuni oleh masyarakat betawi juga dihuni oleh keturunan Bali, Bugis, Ambon, Melayu, Tionghoa, Sunda, Jawa yang bercampur melalui kawin campur dan hubungan interkultural lainnya.

Dalam sinetron tersebut tokoh-tokoh non betawi dan tokoh betawi juga disematkan dengan bahasa dan stereotip kesukuan yang melekat pada tokoh tersebut. Yang menarik di sini adalah, munculnya tokoh berlatar belakang suku jawa, tidak hanya muncul dalam serial Si Doel Anak Sekolahan. Jika kita tarik lebih lanjut, tokoh berlatar belakang suku jawa sudah ada sejak narasi orisinal Si Doel yang ditulis Aman Datuk Madjoindo dalam Si Doel Anak Betawi (1932). Tokoh berlatar belakang suku jawa ini memang tidak berperan langsung dalam narasi-narasi Si Doel, namun cukup signifikan perannya dalam keberlangsungan narasi si Doel.

Karto dalam Si Doel Anak Betawi (1932)

Sebagai karya sastra angkatan balai pustaka, Si Doel Anak Betawi justru tidak menggunakan Bahasa Melayu Tinggi seperti layaknya buku seangkatannya. Aman justru memperkental penggunaan dialek betawi yang nyablak dalam buku tersebut. Melalui Si Doel Anak Betawi inilah, Aman mempelopori munculnya karya sastra yang menggunakan Bahasa Melayu Betawi[2]. Hal ini menarik karena Aman Datuk Madjoindo adalah orang Minang, bukan orang betawi asli. Beliau bekerja di Jakarta, sebagai guru dan editor di Balai Pustaka. Pekerjaannya sebagai guru inilah yang mendorong Aman untuk menulis SI Doel Anak Betawi. Sebuah buku bertemakan pendidikan untuk anak-anak.

Si Doel Anak Betawi menceritakan kisah tentang si Doel seorang anak betawi yang ingin bersekolah. Dalam konteks sosial masyarakat saat ini tentu saja premis ceritanya sangat tidak menarik. Tapi dalam konteks sosial masyarakat betawi pada masa itu, hal ini menjadi hal yang cukup sensitif. Sekolah dalam masa itu dianggap identik dengan kolonial belanda. Bersekolah, menerima pedagogig barat dianggap akan menjauhkan mereka dari ajaran agama. Pada umumnya masyarakat betawi –yang kita tahu sangat kental dengan budaya Islam, menerima pendidikan dari Pondok Pesantren. Namun tidak semuanya berkeinginan untuk mendapat pendidikan, karena kebanyakan masyarakat betawi memiliki tanah yang luas yang dapat diolah dengan mudah.

Hal tersebutlah yang dikritik Aman Datuk melalui tokoh Si Doel dalam bukunya. Beliau mengkritik masyarakat betawi yang belum mau menerima pedagogig barat. Penolakan terhadap pedagogig barat tersebut diungkapkannya melalui penolakan engkong si Doel sebagai berikut:

Bikin aje apa yang lu suka […] Baik si Doel masuk sekole, baik lu jadiin serani, masak bodoh lu. Gue kagak perduli! Tapi kagak usah die dateng kesini-kesini lagi, gue kagak suka. […] Kalo dia kagak tau ngaji, die jadi kafir lu tau nggak? (Aman, 1932)
Dalam konteks sosial masyarakat betawi pada saat itu, Aman melihat sekolah kolonial sebagai momok bagi masyarakat asli betawi. Mereka menganggap sekolah kolonial tersebut sebagai proses kristenisasi oleh para kolonial. Masyarakat Betawi yang identik dengan agama Islam tentu saja tidak bisa menerima eksistensi sekolah-sekolah kolonial yang mereka anggap menyebarkan Agama Nasrani yang dianggap sebagai agama penjajah.

Jika kita menilik latar belakang Aman Datuk Madjoindo yang seorang minang, kritik terhadap masyarakat betawi tersebut merupakan bentuk keperduliannya untuk mengubah stereotip masyarakat betawi yang pada waktu itu dikenal sebagai pemalas, dan tidak berpendidikan. Latar belakang Minang yang dimiliki Aman juga kental dengan budaya Islam. Sejalan dengan adagium minang “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai” (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran). Masyarakat betawi dan masyarakat minang kental dengan budaya dan agama islam, namun masyarakat minang lebih terbuka dalam menerima pedagogig barat.

Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa "alam terkembang menjadi guru", merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Pada masa kedatangan Islam, pemuda-pemuda Minangkabau selain dituntut untuk mempelajari adat istiadat juga ditekankan untuk mempelajari ilmu agama. Hal ini mendorong setiap kaum keluarga, untuk mendirikan surau sebagai lembaga pendidikan para pemuda kampong[3].

Setelah kedatangan imperium Belanda, masyarakat Minangkabau mulai dikenalkan dengan sekolah-sekolah umum yang mengajarkan ilmu sosial dan ilmu alam. Pada masa Hindia-Belanda, kaum Minangkabau merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling bersemangat dalam mengikuti pendidikan Barat. Oleh karenanya, di Sumatera Barat banyak didirikan sekolah-sekolah baik yang dikelola oleh pemerintah maupun swasta.

Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau. Selain ke negeri Belanda, Jawa juga merupakan tujuan mereka untuk bersekolah. Sekolah kedokteran STOVIA di Jakarta, merupakan salah satu tempat yang banyak melahirkan dokter-dokter Minang. Data yang sangat konservatif menyebutkan, pada periode 1900 – 1914, ada sekitar 18% lulusan STOVIA merupakan orang-orang Minang[4].

Perbedaan persepektif mengenai pedagogig barat tersebutlah yang membedakan masyarakat minang dan betawi. Namun dalam Si Doel Anak Betawi  (1932), Aman tidak serta merta membenturkan masyarakat betawi dengan masyarakat minang. Beliau memilih membandingkan dengan orang jawa dengan orang betawi. Ketika Si Doel ditanya oleh ayahnya apa hadiah yang dia inginkan setelah puasa ramadhan, Si Doel menjawab ia ingin seragam sekolah. Si Doel membayangkan sekolah sebagai tempat dimana ia bisa belajar dan bermain dengan gembira, ‘seperti si Karto tetangga kite’.

Aman Datuk menggunakan nama Karto –yang merupakan nama Jawa sebagai alasan Si Doel ingin bersekolah. Karto dalam buku tersebut memang tidak dibahas lebih detil. Namun tanpa adanya tokoh Karto, si Doel mungkin tidak akan memiliki alasan untuk bersekolah. Dengan menyandingkan Si Doel Anak Betawi dengan tetangganya yang orang jawa, Aman seolah mencoba untuk mendorong masyarakat betawi untuk mengikuti pendidikan “seperti tetangganya orang jawa”. Melalui tokoh ayah tiri Si Doel, Aman mengungkapkan pentingnya pendidikan

Saya lihat orang di sini kurang suka menyerahkan anaknya ke sekolah. Mereka hanya diserahkan mengaji saja […]. Betul belajar mengaji dan agama itu sangat baiknya, tetapi sekolah jangan dilupakan. Karena dengan ilmu sekolah itulah sekarang orang dapat mencari hidup yang baik. (Aman, 1932)  

Sri, dalam Si Doel Anak Betawi (1973)

Awal 1970-an, seorang sutradara lulusan All Union State Institute of Cinematography, Moskow bernama Sjuman Djaja memutuskan untuk mengadaptasi Si Doel Anak Betawi ke media film. Kapasitas Sjuman Djaja sebagai sutradara tidak perlu diragukan lagi. Ia lulus dari Institut yang sejak 1986 berganti nama menjadi Gerasimov Institute of Cinematography –dinamakan sesuai nama sutradara dan aktor legendaris Rusia, Sergei Gerasimov, sebagai lulusan non Rusia pertama dengan predikat cumlaude.

Dalam adaptasinya, Sjuman Djaja bekerja sama dengan aktor Soekarno M Noor, yang merupakan ayah dari Rano Karno. Soekarno M Noor berperan sebagai kakek dari Si Doel dalam film ini. Semula Tino Karno, anak sulung Soekarno M. Noor yang direncanakan berperan sebagai Si Doel, namun pada akhirnya Rano Karno yang didaulat untuk memerankan Si Doel, sementara Tino Karno berperan sebagai Sapi’i, arch nemesis Si Doel yang kemudian menjadi teman akrabnya. Tokoh babe-nya Si Doel diperankan oleh seniman betawi Benyamin Suaeb.

Terlepas dari latar belakang keturunan jawa, Sjuman Djaja bisa dikatakan sangat dekat dengan orang betawi. Karena ia tinggal cukup lama di Jakarta. Sama seperti halnya Aman, Sjuman Djaja menggunakan tokoh orang jawa sebagai pembanding Si Doel yang mewakili Masyarakat Betawi.

Si Doel    : Doel nggak mau berkelahi Bu. Tapi si Sapi’i itu emang jahanam, dia selalu bikin gara-gara.
Emak       : Ya biarin aja dia cari gara-gara. Kamu nggak usah jawab. Memangnya kamu mau jadi jagoan? Nggak anak, nggak bapak maunya jadi jagoan.
Si Doel    : Mentang-mentang die orang kaya!
Emak       : Dengar nak, kamu mau sekolah apa nggak?
Si Doel    : Mau dong Bu, Pake dasi, pake sepatu, bawa tas kayak si Badu dan si Sri, anak Pak Karto di sebelah itu.
Emak       : Nah, kalo kamu mau sekolah, nggak usah jadi jagoan.
Babe        : Sekolah juga, jadi jagoan juga. Itu namanya anak si Asman.

Sjuman Djaja meneruskan kritik dari Aman dalam bukunya, selain dari itu ia menambahkan peran Badu dan Sri anak Pak Karto. Namun meskipun jika dikomparasikan dengan sumber adaptasinya, film ini memiliki beberapa perbedaan dengan bukunya. Dalam buku tidak dijelaskan secara eksplisit latar waktu cerita, namun di film terlihat bahwa latar waktu cerita tersebut pada tahun 1940 dengan terlihatnya tanggal yang ditulis di pusara babe-nya si Doel. Perbedaan selanjutnya adalah ayah Si Doel yang baru adalah pamannya Asmat, adik dari babe-nya Si Doel. Asmat meneruskan budaya betawi ‘turun ranjang’ dengan menikahi janda kakaknya, sementara di buku ayah kedua Si Doel tidak jelas. Perbedaan lainnya adalah kakek si Doel yang dalam buku Si Doel Anak Betawi menentang keras si Doel bersekolah, di dalam film, kakek si Doel justru mendukung, bahkan mengantarkan si Doel di hari pertamanya sekolah. Alasan si Doel bersekolah pun bukan karena Karto tetangganya yang jawa seperti dalam buku, namun lebih karena Sri, anak pak Karto dalam film. Cinta monyet si Doel kepada Sri inilah yang membuatnya ingin bersekolah.

Dalam film ini, peran orang jawa masih sebagai alasan si Doel untuk bersekolah meskipun bukan sebagai competitor, tapi lebih pada adanya romantic feeling. Film Si Doel Anak Betawi ini sukses besar, sehingga membuat Sjuman Djaja membuat sekuelnya pada tahun 1977 dengan judul Si Doel Anak Modern.

Mas Karyo dalam Si Doel Anak Sekolahan (1994-2003)

Si Doel Anak Sekolahan, memang bukanlah adaptasi fidel dari buku Si Doel Anak Betawi (1932), maupun film Si Doel Anak Betawi (1973). Si Doel Anak Sekolahan lebih sebagai extended adaptation dari kedua sumber adaptasinya. Rano Karno mengubah tokoh-tokoh dalam narasi si Doel besar-besaran. Perubahan itu tentu saja bukan tanpa alasan. Tentu saja tidak mungkin mengangkat kisah anak kecil yang ingin sekolah pada tahun 1990-an. Perubahan ini disesuaikan dengan kemudahan pendidikan, dan program wajib belajar sembilan tahun.

Dalam Si Doel Anak Sekolahan, dikisahkan Si Doel sudah hampir lulus dari kuliah. Peran tokoh Mas Karyo di sini tentu saja sudah beralih, karena tidak diperlukannya alasan Si Doel untuk sekolah. Mas Karyo (dan Mandra) lebih berperan sebagai arketipe clown, sebagai pemancing tawa untuk mewarnai narasi Si Doel Anak Sekolahan. Mas Karyo dikisahkan sebagai seorang perantau dari pekalongan yang bertetangga dengan Si Doel. Perbenturan budaya antara Mandra yang seorang betawi dan Karyo yang jawa dikemas sedemikan rupa sehingga menjadi lucu. Almarhum Basuki yang memerankan Mas Karyo adalah anggota Srimulat, sementara Mandra adalah aktor lenong dan topeng. Perpaduan dua budaya, betawi yang keras dan jawa yang ngalem malah menjadikan interaksi menarik diantara kedua tokoh tersebut.

Adaptasi Media, Adaptasi Konteks dan Peran

Narasi Si Doel mengalami perubahan dari versi buku Si Doel Anak Betawi hingga serial Si Doel Anak Sekolahan. Selain perubahan media dari buku ke film lalu menjadi serial, perubahan yang terjadi juga meliputi perubahan kritik sosial yang disesuaikan dengan konteks sosial masyarakat pada setiap kemunculan adaptasinya. Perbedaan konteks social tersebut tentu saja mempengaruhi peran tokoh dalam narasinya, baik secara teknikal maupun secara fungsional.

Tokoh orang Jawa mungkin dipilih Aman Datuk Madjoindo, Sjuman Djaja, maupun Rano Karno, karena orang jawa termasuk kelompok besar sosial masyarakat yang paling berpengaruh di pulau Jawa. Denys Lombart dalam Le Carrefour Javanais[5] membagi pulau jawa menjadi tiga kelompok besar sosial masyarakat. Kelompok pertama adalah masyarakat pesisir –meliputi pesisir utara Pulau Jawa, masyarakat Sunda –meliputi Jawa bagian barat, dan masyarakat Jawa –meliputi Jawa bagian tengah dan timur. Masyarakat Jawa adalah kelompok sosial masyarakat pulau Jawa yang terbesar.

Adaptasi yang dilakukan Sjuman Djaja dan Rano Karno merupakan bentuk intertekstualitas antara resepsi dan re-intrepretasi masing-masing personal terhadap sumber adaptasi dan kondisi sosial masyarakat saat itu. Mengutip Linda Hutcheon[6], sebagai proses kreasi, adaptasi selalu melibatkan (re-)intrepretasi dan (re-)kreasi, keduanya tentu saja tidak bisa lepas dari perspektif pengadaptasi.




[1] Loven, Klarijn, Si Doel and Beyond: Discourse on Indonesian Television in the 1990s, Leiden University Press, 2008
[2] S. Amran Tasai, Telaah Susastra Melayu Betawi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991
[3] A.M.Z. Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan Ulama Sufi dalam Pembaruan Adat, Marja, 2007
[4] Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, 1981
[5] Denys Lombart, Le Carrefour Javanais, Essai de Histoire Globale, EHESS, 1990
[6] Linda Hutcheon, A Theory of Adaptation¸Rouledge, 2006
Monday 19 August 2013
Posted by AnovA

Pacific Rim: Nostalgia Robot Masa Kecil


"There are things you can't fight - acts of God. You see a hurricane coming, you get out of the way. But when you're in a Jaeger, you can finally fight the hurricane. You can win."
—Raleigh Becket
Robot adalah salah satu fantasi manusia yang luar biasa. Melalui robot, manusia bisa menjadi dan act as God dengan menciptakan makhluk yang bisa dikendalikannya sesuka hati. Istilah Robot diciptakan oleh Karel Capek, seorang penulis asal Cekoslovakia dalam dramanya yang berjudul R.U.R pada tahun 1920. Robot berasal dari Bahasa Slavik Kuno berarti pekerja. Ya, Robot pada awal kemunculannya memang ditujukan sebagai pekerja untuk manusia. Hal tersebut dikuatkan oleh karya-karya penulis Amerika Serikat Isaac Asimov (penulis I, Robot), yang sangat mempengaruhi peran robot dalam dunia narasi.

Dalam budaya populer, robot pun muncul dalam berbagai media dan berbagai ukuran. Godfather of Anime, Ozamu Tezuka melahirkan robot dalam wujud anak kecil dan menamainya Astro, dalam manga Astro Boy. Peran robot dalam Astro Boy, masih tetap menganut Three Laws of Robotics a la Asimov. Begitu pula dalam Robocop, Neon Genesis Evangelion dan Patlabor, robot ditakdirkan untuk patuh pada sang pencipta. Nah, perbedaan kelas antara robot dan manusia yang membuat kelas robot mulai memberontak dan melancarkan revolusi kelas dalam serial Terminator. Well, anda akan lebih memahami teori dua kelas-nya Marx setelah mengkhatamkan Terminator. Lalu setelah para kreator narasi tersebut puas mengombang-ambingkan peran robot sebagai protagonis dan antagonis dalam sebuah narasi, diciptakanlah peran baru bagi robot, yaitu sebagai alien dalam Transformer. Hingga kemudian, munculah Jaeger!

Guillermo del Toro, memunculkan sosok Jaeger ( [ˈjɛːɡɐ] dari bahasa Jerman yang berarti pemburu), dalam film terbarunya Pacific Rim. Del Toro mengembalikan sosok robot kembali ke khitahnya yaitu sebagai alat bantu manusia (untuk) melawan monster, yang dalam film ini disebut dengan istilah kaiju (dari bahasa Jepang yang berarti makhluk buas). Mengambil setting pada tahun 2020-an, film ini mengisahkan tentang perlawanan manusia terhadap sosok buas yang tiba-tiba muncul dari dasar pasifik. Dengan kredo "To fight monster, we create monster", maka diciptakanlah sosok mecha raksasa setinggi sekitar 80 meter (Monas tingginya 132m), yang dinamakan Jaeger. Cerita kemudian berfokus pada Raleigh Becket, seorang ranger (sebutan untuk pilot  Jaeger) yang pensiun dini dan ditarik kembali untuk menjalankan misi terakhir dalam perjuangan melawan kaiju.

Konsep ini bukanlah hal baru, kita masih ingat sosok Voltron atau Megazord-nya Power Ranger, sosok robot multi pilot yang digunakan untuk melawan monster. Namun justru pertarungan Jaeger vs Kaiju inilah yang menjadi raison d'etre dari film ini. Sebegitu pentingnya hingga pertarungan dua sosok gigantik ini di-shot dengan banyak zoom in yang cukup membuat pusing. Tetapi justru pendekatan visual yang berbeda dari Guillermo Navarro, sang Director of Photography inilah yang membuat penonton mampu melihat detil visual yang menakjubkan dari Jaeger dan Kaiju. Navarro berhasil mewujudkan keinginan del Toro untuk membuat sesuatu yang "big, beautiful and sophisticated visuals".

Pacific Rim memiliki segalanya untuk menjadi Blockbusters Movie. Mulai dari: visual efek yang luar biasa; aksi pertarungan antara robot raksasa dan monster raksasa yang bakal memukau anak-anak dan orang dewasa; pihak Amerika yang selalu menang; hingga narasi yang biasa saja. Memang narasi cerita ini cenderung datar, klise, namun logika film-nya cukup terjaga dengan baik. Del Toro (bersama Travis Beacham) membangun dengan baik mitologi Pacific Rim. Ini berlawanan dengan yang disebutkan Candra Aditya dalam reviewnya, yang mengatakan "Tidak ada satu pun yang masuk akal, misalnya apa motivasi utama para Kaiju menyerang manusia. Apakah mereka monster atau alien?". Motivasi utama para Kaiju sudah jelas untuk menjajah manusia. Itu sudah dijelaskan dalam film. Lalu pertanyaan kedua cukup dijawab dengan they both monster and alien. Monster itu esensinya ke physical appearance, berasal dari kata latin monstrum, yang berarti penyimpangan. Sementara etimologi dari alien berasal dari Bahasa Prancis Kuno alien, yang merupakan turunan dari kata latin alienus yang berarti asing, mahluk asing. Menanyakan apakah kaiju itu monster atau alien sama saja menanyakan apakah Optimus Prime itu alien atau robot.

Selain narasi film yang kurang maksimal, kekurangan film ini terletak pada kualitas akting para aktornya. Akting para aktor disini tidak terlalu istimewa. Charlie Hunnam, sebagai tokoh utama terlalu generic caucastic american hero. Sementara Idris Elba, sebagai marshall ia kurang memiliki kharisma jika dibandingkan dengan Terrence Howard atau Laurence Fishburne yang mungkin lebih terbiasa memainkan peran-peran komandan. Justru Rinko Kikuchi yang tampil menonjol dalam film ini. 

Film ini terselamatkan dengan banyaknya jokes dan dialog yang epic nan quoteable. Jokesnya nggak berlebihan, pas dan tidak kurang. Sependapat dengan Candra Aditya bahwa Pacific Rim hanya memerlukan Charlie Day dan Ron Pearlman untuk membuat seruangan bioskop tertawa. Dialog yang ditulis oleh Beacham dan del Toro mengandung banyak lines menarik. Dari "Don't get cocky kid." (Yancy pada Raleigh, yang dipinjam dari lines milik Hans Solo dalam Star Wars), hingga yang paling epic "Today, we're cancelling the apocalypse". Memang sih belum sekelas dengan epic lines seperti "This is SPARTA!" (300), "Luke,... I'm your father" (Star Wars V) atau "Why so serious?" (The Dark Knight). Tapi efeknya sama jika dibandingkan dengan "Release the Kraken!"-nya Liam Neeson.

Tapi bukan berarti film ini tidak bagus. Seperti yang dikutip di atas, mitologi Pacific Rim berhasil dibangun dengan baik oleh kedua writer tersebut. Kredit khusus perlu diberikan kepada Travis Beacham yang merilis graphic novel berjudul Pacific Rim: Tales of Year Zero, sebagai prekuel dan komplemen dari filmnya. Dengan dunia mitologi yang cukup detil, mungkin sedikit terlalu berlebihan jika menyebutnya sebagai the next star wars, namun setidaknya film ini memiliki kemampuan untuk merangkul penggemarnya. Pernyataan tersebut bukan tanpa dasar. Meskipun film ini tidak sukses secara komersil di Amerika Serikat, justru pasar terbesar ada di luar Amerika, khususnya di Jepang dan Cina. Forum-forum penggemar pun sudah banyak dan mengharapkan munculnya sekuel dari film ini. 

Pacific Rim, adalah film yang bagus jika anda memposisikan diri sebagai penikmat summer blockbuster movies, atau anda adalah sosok yang merindukan pertarungan megah antara monster dan robot beukuran gigantik yang meluluhlantakkan sepenjuru kota. Namun jika anda seorang kritikus film, maka film ini adalah santapan anda.

AnovA
@anovanisme
Wednesday 31 July 2013
Posted by AnovA

Backstage's Notes #1: Le Fourberies de Scapin

Pre Scriptum:
Artikel ini ditulis bukan sebagai resepsi maupun review terhadap Pertunjukan Les Fourberies de Scapin, yang dimainkan oleh rekan-rekan Sastra Prancis 2011, pada tanggal 1 Juli 2013 di Auditorium FIB, UGM, sebagai Ujian Akhir Semester, mata kuliah Teori Sastra Prancis Klasik.

Di Balik Adaptasi


Semua penulis adalah peminjam. Mereka semua meminjam pengalaman, sejarah, kejadian-kejadian sehari-hari ke dalam tulisan mereka (Paller, 2010). Hal tersebut ditegaskan oleh adagium* You are what you see. Apa yang anda lihat, apa yang anda baca, apa yang anda ketahui adalah apa yang anda akan bagikan ke orang lain.

Seperti yang saya tulis dalam paragraf pertama skripsi saya, manusia sejatinya adalah homo fabulans, manusia yang bercerita, manusia yang berbagi cerita. Manusia disebut homo fabulans karena manusia mampu menyerap pengalaman diluar pengalaman langsung mereka. Hal inilah yang menyebabkan tradisi lisan berkembang sebelum akhirnya manusia memindahkan narasi mereka dalam serangkaian kode yang kemudian disebut tulisan. Cerita dalam konteks ini tentu saja adalah cerita yang bernarasi. Cerita sendiri dapat dibagi menjadi dua jenis, cerita asli dan cerita adaptasi.

Untuk media apapun, ketika diadaptasi ke sebuah media yang berbeda akan muncul masalah yang kurang lebih serupa. Masalah ini bersumber dari kenyataan bahwa kisah dalam media lain yang akan diadaptasi sudah dikenal oleh masyarakat, dan tentu saja sudah mencapai tingkat keterkenalan tertentu. Pengadaptasi harus bisa mendayung di antara dua karang. Karang pertama adalah kesetiaan terhadap media asal, dan karang kedua adalah penyesuaian yang dianggap perlu. Kemudian problem lain dalam adaptasi adalah pada teknik komunikasi yang dipakai.

Semua media punya metodenya masing-masing agar komunikasinya bisa sampai sesuai yang dimaksud. Buku punya kesempatan bermain gaya bahasa, mendeskripsikan pikiran orang dan sebagainya untuk mencapai kedalaman dan imajinasi. Komik punya kemampuan menjabarkan panel-panel yang mempertahankan momen dramatik dari sebuah cerita. Console game memiliki kemampuan interaktif langsung yang membuat jalan cerita dan nasib akhir tokoh protagonis ditentukan oleh pemain game tersebut (Irwansyah, 2009)

Pinjaman dari Italia
Mengadaptasi karya terkenal seperti Les Fourberies de Scapin (Penipuan-Penipuan Scapin) karya Jean-Baptiste Poquelin atau yang lebih dikenal dengan nama Moliere, menjadi sebuah tantangan tersendiri. Reputasi Moliere sendiri sebagai Bapak Komedi Prancis seolah membawa beban tersendiri berupa standar komedi macam apa yang akan diadaptasi. Komedi identik dengan pertunjukan yang menghibur, menghadirkan berbagai asosiasi yang ditarik secara ekstrem sehingga menghasilkan ketegangan yang hanya bisa dilepaskan dengan tertawa (Koeslter, 1964).

Tentu saja ada perbedaan sudut pandang mengenai komedi antara Moliere sebagai penulis asli dan kita yang membaca naskah aslinya, tiga abad berselang. Moliere hidup di abad ke-17, ia  akrab dengan theater dan pernah berbagi panggung dengan Comedia dell'arte** di Paris selama 15 tahun hingga kematiannya pada tahun 1673. Kedekatannya dengan Tiberio Fiorilli pemimpin salah satu kelompok Commedia dell'arte memiliki pengaruh besar terhadap karya Les Fourberies de Scapin yang dipentaskan 24 Mei 1671 (Paller, 2010). Sebagai catatan Tiberio Fiorilli ini adalah penemu karakter Scaramucchia, atau juga dikenal dengan nama Scaramouche, jadi bagi anda penggemar Bohemian Rhapsody dan mengira Scaramouche adalah kata ciptaan Farrokh Bulsara a.k.a Freddie Mercury, setidaknya sekarang anda tahu Scaramouche sudah ada sejak abad ke-17.

Pertunjukkan Commedia dell'arte sendiri pada umumnya menggunakan tiga arketipe penokohan: Zanni (Valet / Pembantu), Signor (Master / Tuan), dan Gli Innamorati (The Lovers / Pasangan) (Kartrizky, 2009). Arketipe penokohan itu juga diterapkan Moliere pada Les Fourberies de Scapin. Arketipe Signor diletakkan pada tokoh Argante dan Geronde, Gli Innamorati pada pasangan Octave dan Hyacynthe, juga Leandre dan Zerbinette, sedangkan Zanni pada tokoh Scapin dan Sylvestre. Bahkan nama Scapin atau Scapino dalam Bahasa Italia berasal dari kata Italia scappare yang berarti kabur (to flee). Hal ini menunjukkan kecenderungan tokoh Scapin untuk kabur ketika posisinya tidak menguntungkan dalam konflik yang ia buat sendiri. Paller (2010) berpendapat setidaknya ada dua alasan mengapa terjadi banyak kedekatan antara Commedia dell'arte dan Les Fourberies de Scapin. Pertama, kekaguman Moliere terhadap Commedia dell'arte dan kedua adalah latar belakang munculnya Les Fourberies de Scapin.

Munculnya Scapin
Moliere menemukan perbedaan akting theater Prancis dan komedi theatrikal Italia. Aktor Prancis pada waktu itu terbiasa dengan akting yang statis, kaku, penuh deklamasi dengan suara yang tegas dan keras. Karya-karya populer yang berkembang pada abad ke-17, seperti karya Cyrano de Bergerac, yang kebetulan masih satu almamater dengan Moliere, cenderung membutuhkan akting seperti itu. Sementara kedekatan Moliere dengan Tiberio Fiorilli membuat Moliere mengenal akting khas Italia yang spontan dan natural. Gaya yang spontan dan kemampuan improvisasi karakter para aktor Italia tersebut masih ditambah kecerdasan mereka mengolah dialog dengan puisi-puisi yang diselipkan secara spontan di dalamnya. Dari situ Moliere mengembangkan komedi dengan gaya yang ringan, anggun, dan menekankan pada aspek fisikal akting seperti mimik wajah dan bahasa tubuh.

Yang kedua adalah latar belakang munculnya Les Fourberies de Scapin. Paller (2010) menyebutkan munculnya Les Fourberies de Scapin adalah untuk mengisi panggung theater dan menjauhi masalah. Karya terakhir Moliere sebelum Les Fourberies de Scapin adalah Psyche (1671) yang merupakan kolaborasi dengan Pierre Corneille, Phillipe Quinault dan pengolahan musik oleh Jean-Baptiste Tully. Psyche memang sukses secara finansial, namun tidak bisa dimainkan di theater secara berkesinambungan. Psyche berbentuk Drama Balet, dimainkan dengan lusinan penari dan penyanyi, juga banyak musisi. Sehingga untuk dimainkan secara terus menerus juga tidak mungkin. 

'Menjauhi masalah' dalam hal ini merujuk kepada kontroversi Tartuffe, drama karya Moliere yang ditulis pada tahun 1664 dan direvisi pada tahun 1669 karena dianggap menyinggung Gereja. Walaupun hasil revisi Tartuffe, L'Imposteur (The Imposter) menuai sukses di kalangan aristokrat Prancis. Pihak Gereja masih mengawasi gerak-gerik dan karya-karya Moliere. Moliere membutuhkan suatu karya yang ringan dan tidak menyinggung pihak manapun, dan Scapin memenuhi persyaratan tersebut.

Age of Adaptation
Pemaparan di atas semakin menguatkan kredo*** Nihil Sub Sole Novum, tidak ada yang baru di bawah matahari. Menciptakan sesuatu yang benar-benar asli hampir tidak mungkin. Hasil karya seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakangnya yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor di luar dirinya. Seperti apa yang ditulis oleh Linda Hutcheon, kita hidup di era adaptasi. Manusia secara konstan menceritakan dan menceritakan kembali sebuah cerita, mempertunjukan dan mempertunjukan kembali sebuah pertunjukan, berinteraksi dan berinteraksi kembali dengan yang lain secara terus menerus.

Glosarium
*Adagium : Pepatah / Peribahasa
**Commedia dell'arte (Comedy of the art) : komedi teatrikal dari Italia, sangat populer pada masa itu di Prancis,  terkenal dengan improvisasi karakter dan penekanan pada akting fisikal
*** Kredo : Pernyataan kepercayaan

Daftar Pustaka:
Hutcheon, Linda. 2006. A Theory of Adaptation. London: Rouledge.
Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Katrizky, M.A. 2006. The Art of Commedia: A Study in the Commedia dell'Arte 1560–1620 with Special Reference to the Visual Records. New York: Editions Rodopi.
Koeslter, Arthur. 1964. The Art of Creation. London: Hutchinson.
Puller, Michael. 2010. Word of Play: Scapin. San Francisco: American Conservatory Theater.
Thursday 4 July 2013
Posted by AnovA

Yang Terhormat Signor Morratti

Saya adalah seorang interista sejak tahun 1998. Saya tidak tahu mengapa saya begitu mencintai Internazionale hingga saat ini. Saya masih ingat betul lima belas tahun yang lalu, saya menyaksikan Internazionale yang kalah secara tidak adil dari Juventus pada tanggal 26 April 1998. Namun, anehnya kekalahan itu justru membuat saya jatuh cinta dengan Inter. Aneh? Tidak logis? Percayalah, jatuh cinta itu tidak pernah logis.

Saya semakin bangga dengan La Beneamata ketika Inter meraih scudetto pada tahun 2007 yang telah anda impikan sejak anda menggantikan Angelo Morratti, ayah anda. Dua belas tahun adalah waktu yang sangat lama untuk menantikan kebanggaan tersebut. Saya tahu anda mencintai Inter. Anda rela mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan Ronaldo, Cristian Vieri, dan banyak bintang yang anda datangkan demi meraih scudetto. Puncak kebanggaan saya sebagai interista, tentu saja adalah ketika Il Biscione meraih kejayaan sebagai klub italia pertama yang meraih Treble Winner. Dengan fakta bahwa Inter adalah satu-satunya klub yang tidak pernah turun dari Serie A, saya semakin membanggakan klub ini sebagai klub terhebat di Italia. Bahkan rival kita, Juventus belum pernah meraih kehormatan tersebut. Hanya Inter. C'e Solo Inter.

Sejak meraih treble tersebut, Inter belum pernah kembali ke puncak tertinggi Serie-A. AC Milan, dan Juventus kembali membuat Inter seperti pecundang. Namun saya tidak sekalipun meninggalkan Inter. Saya tetap mencintai Inter di saat kalah, karena saya tahu pasti saya mencintai Inter bukan karena banyaknya gelar atau Inter yang tak pernah kalah. Saya mencintai Inter dari hati yang paling dalam.

Musim lalu, adalah musim terburuk bagi Internazionale. Mungkin saya tidak perlu membahas lebih lanjut mengenai musim terkutuk itu. Musim yang buruk itu telah berakhir, dan kini saatnya menatap dan memperbaiki diri untuk menjadi penantang juara di musim depan. Anda tahu pasti hal itu Signor Morratti. Anda memberikan kepercayaan pada Walter Mazzarri sebagai pelatih. Staff pelatih dan staff teknis juga mengalami perubahan, mengantisipasi agar badai cedera yang menghancurkan Inter musim lalu tidak terulang.

Namun ada satu hal yang masih mengganjal di hati saya, Signor Moratti. Saya ingin mempertanyakan kebijakan mercato Internazionale. Apakah Inter tidak belajar dari musim lalu dan musim-musim sebelumnya? Inter memiliki salah satu akademi sepakbola terbaik di Italia. Saya yakin kualitasnya tidak kalah dengan Akademi Sepakbola Ajax Amsterdam, Akademi Sepakbola Manchester United, maupun La Masia, Akademi Sepakbola FC Barcelona. Scout Internazionale pun memiliki mata yang sangat jeli untuk memantau bakat-bakat terbaik dari Italia maupun dari penjuru dunia.

Inter pernah memiliki Andrea Pirlo. Saat ini ia adalah tulang punggung Azzurri dan pengatur permainan AC Milan dua tahun lalu dan kini, registra Juventus. Inter pernah memiliki seorang Mattia Destro. Apa yang Destro lakukan musim lalu? Ia mengantarkan Roma ke final Coppa Italia. Ia mencetak gol ke gawang Inter. Lalu Inter pernah memiliki bakat muda bernama Phillipe Coutinho. Inter menjualnya ke Liverpool dan kini ia menjadi pemain kunci di sana. Dua pemain tersebut adalah pemain muda yang pernah Inter miliki. Anda bahkan dapat membeli beberapa orang Destro dan beberapa Coutinho dengan uang yang anda keluarkan untuk membeli Ronaldo maupun Cristian Vieri.

Tahun ini, La Azzurini menjadi finalis di EURO U-21 di Israel. Empat difensore dan seorang kiper yang menjadi tumpuan pertahanan L'Azzurini, hanya kebobolan 5 gol. L'Azzurini memiliki Francesco Bardi, seorang kiper muda berbakat. Di kanan ada Giulio Donati, lalu ada Luca Cardirola dan Matteo Bianchetti di tengah. Semuanya adalah pemain Akademi Sepakbola Inter. Inter menjadi tumpuan pertahanan L'Azzurini.

Saya benar-benar kecewa ketika Inter menjual Donati ke Leverkusen dengan harga tiga juta euro. Mungkin jika anda bersabar, memberi Donati waktu dan kesempatan bermain anda bisa menjualnya dengan harga sembilan juta euro atau lebih dalam tiga atau empat tahun lagi. Kini saya mendengar berita Inter akan menjual Luca Cardirola. Apakah Inter tidak pernah belajar dari masa lalu?

Saya yakin Inter memiliki dana untuk membeli pemain baru sebagai pengganti pemain yang pergi dari Inter. Saya sangat yakin kecintaan anda kepada Inter membuat anda rela mengeluarkan dana untuk membuat Inter selalu lebih baik. Namun apakah anda rela membuang aset berharga dari Akademi Sepakbola Inter?

Inter masih memiliki Francesco Bardi, Issac Duncan, Joel Obi, Marco Benassi, Matteo Bianchetti dan banyak pemain muda lain. Yang mereka perlukan hanyalah waktu, kesempatan bermain dan kesabaran anda, signor Morratti. Inter bukanlah tim sekelas Udinese yang selalu membeli pemain muda, mengasahnya dan menjual pemain bintangnya setiap musim. Inter dapat meniru Ajax Amsterdam, maupun Manchester United, bahkan Barcelona. Inter muda memiliki potensi. Apakah anda tidak sadar dengan hal itu?

Saya sebagai interista tentu saja tidak ingin kejayaan Inter berlangsung sekali dalam sepuluh tahun. Saya sebagai interista selalu ingin Inter dapat berjaya selama bertahun-tahun. Saya mungkin seorang interista yang bodoh, yang lebih rela melihat Inter kalah namun dapat memberi saya harapan untuk musim-musim berikutnya. Bagi saya, Inter adalah harapan. Harapan dalam biru dan hitam. Seperti jersey kebanggaan Nerazzuri.


AnovA
yang mencintai Inter
Tuesday 25 June 2013
Posted by AnovA

Perilaku dan Kesadaran Religius

Berawal dari kicauan mbak @pengantenanyar eh @memethmeong :p,

Lebih efektif mana ya utk mengubah perilaku, konsep reward & punishment-nya surga neraka atau konsep karma?

saya terlibat percakapan (yang menurut saya cukup) seru dengannya tentang mengubah perilaku. Well, kalo ngobrolin masalah perilaku (behavior) manusia, setahu saya bisa dikuak dalam tiga ranah, ranah Sosiologi, Politik dan Psikologi. Pertanyaan mbak @memethmeong sangat menarik bagi saya karena pertama opsi yang ia tawarkan berhubungan dengan agama, yang kedua ketika saya tanya konteks behavior yang mana, ia menjawab behavior level individu. Oke, jadi ada sudut pandang untuk melihat perilaku manusia dari sudut pandang religius.

Behavior iki opo?
Behavior secara Google translate dapat diartikan sebagai perilaku dalam Bahasa Indonesia. Perilaku tentu saja tidak terbatas pada manusia saja namun juga pada semua mahluk. Manusia (khususnya scientist) percaya kalo perilaku itu merupakan tindakan terpola, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat di antara keduanya. Hal tersebut mengakibatkan munculnya banyak teori mengenai pola-pola perilaku, dari perilaku masyarakat (collective behavior), hingga individu (Behaviorism-nya B.F Skinner).

Argumen Apologetik Blaise Pascal
Opsi Karma dan Reward Punishment yang diajukan mbak @memethmeong, semula saya pikir akan efektif ketika eksistensi Tuhan (yang berperan sebagai judge) tidak diketahui. Namun, saya teringat presentasi kelompoknya @kiranhernanda dkk, ketika membahas salah satu filsuf, penulis, matematikawan, fisikawan, scientist Prancis abad XVII, Blaise Pascal. Pascal pernah mengajukan argumen apologetik* yang biasa disebut Pascal's Wager. Pascal berpendapat bahwa manusia semua bertaruh dengan kehidupan mereka, baik dengan asumsi Tuhan ada atau tidak ada. Begini argumennya:
1. Bila anda percaya akan Tuhan dan Tuhan itu ternyata ada, maka anda beruntung dan akan masuk surga.
2. Bila anda percaya akan Tuhan dan Tuhan itu ternyata tidak ada, maka anda tidak akan rugi.
3. Bila anda tidak percaya akan Tuhan dan ternyata Tuhan itu ada, maka anda rugi dan akan masuk neraka
4. Bila anda tidak percaya akan Tuhan dan ternyata Tuhan itu tidak ada, maka tidak akan terjadi apa-apa.

Konsep tersebut sama dengan konsep karma dalam agama India dan Surga dan Neraka dalam agama Samawi (well, semua agama kayaknya ada deh). Jika Tuhan terbukti ada, maka konsep tersebut sama sekali tidak berguna karena semua manusia akan berbuat baik. Sebaliknya jika Tuhan tidak ada maka konsep tersebut juga sama tidak bergunanya karena kekosongan peran Tuhan untuk memberikan judgement mana yang baik dan mana yang buruk.

Argumen apologetik Pascal tersebut tentu saja bukan tanpa kritik. Pengkritiknya tidak hanya dari kalangan yang "tidak percaya" namun juga kaum agamawan saat itu. Kritik yang muncul antara lain:
1. Argumen Pascal nampak seperti transaksi antara kepercayaan dan keberadaan Tuhan. Tuhan akan menukar kepercayaan manusia dengan surga. Hal ini menimbulkan "pengabdian" semu antara manusia kepada Tuhan.
2. Setiap agama memiliki konsep Tuhan dan kebenarannya masing-masing. Otomatis hal tersebut memberikan satu variabel "Tuhan yang mana" yang menjadi "judge" dalam taruhan tersebut, juga menambah resiko manusia masuk neraka jika percaya pada Tuhan yang salah.
3. Salah satu variabel dalam argumen Pascal tersebut adalah kepercayaan. Sementara kepercayaan sendiri bukan sesuatu hal yang dapat dikontrol. Dalam konteks kritik, seseorang bisa saja beribadah, tapi jika memang tidak percaya, maka seluruh ibadah tidak akan dilandaskan pada ketulusan.

Karma
Konsep karma pada dasarnya adalah konsep sebab akibat dalam lingkaran kehidupan (samsara). Konsep ini berkembang di agama yang berasal dari kebudayaan India kuno seperti Hindu, Jainisme, Budha, dan Sikh (konsep yang sama ditemukan di beberapa agama yang berasal dari Asia). Konsep dasarnya adalah jika anda berbuat baik maka akan mendapatkan kebaikan, dan sebaliknya. Lalu bagaimana jika di ujung hayat anda melakukan karma yang baik, apakah anda tidak mendapatkan karma? 
Berbeda dengan lingkaran kehidupan dalam agama samawi yang berbentuk linier (ada konsep Awal dan Akhir, Alpha dan Omega). Lingkaran Samsara ini berbentuk lingkaran dan bersifat infinitif. Tujuan dari agama-agama ini justru pada pelepasan diri dari samsara (mokhsa). Karma akan dibalaskan dalam kehidupan berikutnya (reinkarnasi) jika manusia masih terjebak dalam pusaran samsara. Karma bukanlah hukuman namun lebih kepada konsekuensi perilaku.

Reward and Punishment
Reward and Punishment justru menjebak manusia dalam ranah ritual untuk menjaga relasi hubungan vertikal antara Manusia dan Tuhan. Manusia beribadah untuk dirinya sendiri bukan untuk sesamanya. Padahal semua agama justru menekankan pentingnya manusia mengasihi sesamanya. Agama Budha mengajak manusia untuk membahagiakan semua makhluk (sabbe satta bhavantu sukhitatta = semoga semua makhluk hidup berbahagia). Agama Nasrani mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia (Mat 22:39 "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"). Agama Islam mengajarkan mengasihi sesama mukmin (QS 49:10 "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat."). 

Dengan menjaga hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya, maka hubungan vertikal dengan Tuhan otomatis akan terjaga. Hal inilah yang mungkin kurang disadari oleh Manusia. Seolah hidup ini merupakan kompetisi menuju Surga. Manusia terjebak dalam ritual-ritual ibadah, dengan motivasi menuju surga, melupakan hubungan horizontal dengan sesamanya. 

Mengatur perilaku melalui Kesadaran Religius
Perilaku manusia jika diatur melalui kedua konsep tersebut maka action yang ia lakukan akan dilakukan tanpa ketulusan. Konsep tersebut muncul untuk mendorong (bukan mengatur) manusia untuk selalu berbuat baik pada sesamanya. Sayangnya kesadaran religius yang bersifat universal itu justru direduksi oleh manusia sendiri, sehingga manusia sering terjebak dalam ritual ibadah. Namun jika kesadaran religius tersebut dipahami secara utuh, perilaku manusia akan lebih terjaga. Toh pada dasarnya manusia sudah disangoni** oleh hati nurani. Walaupun hati nurani sendiri seringkali tidak didengarkan oleh manusia sendiri.



Keterangan:
*Apologetik: pembelaan iman
** disangoni: dibekali
Wednesday 19 June 2013
Posted by AnovA

BBM (campuran)!


Sodara-sodara, pro-kontra kebijakan kenaikan harga BBM berakhir dengan keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Terlepas setuju atau nggak setuju sodara-sodara, palu sudah diketuk, dan mari bekerja lebih keras supaya kebutuhan pokok kita semua tercukupi.
Sebelum sodara-sodara membaca lebih lanjut, perlu diketahui saya tidak akan mengkaji mengenai sebab akibat kenaikan harga BBM, karena ketahuilah sodara-sodara hal tersebut yang sudah banyak di media lain sesuai dengan motif dan kepentingannya. 

Dalam posting ini saya akan membahas tentang BBM Campuran, sebuah video speech composing Jeremy Teti. Sudah pada lihat kan? Belum? Nyoh!



Lagu yang sangat catchy ini diciptakan oleh @ekagustiwana. Pelaku yang sama yang membuat Demi Tuhan!!-nya Arya Wiguna menjadi lembut dan mendayu. Lagu ini memang sangat kampret sekali Sodara. Pertama kali mendengarnya di tayangan pencarian bakat yang selalu diulur-ulur dengan berbagai kemasan sebagai teman bagi anda menghabiskan malam minggu anda di depan televisi, lagu ini langsung menanamkan melodinya ke benak saya. Baeglah!

Terlepas dari image om-om pembaca berita yang lucu dan digemari wanita yang sudah siap nikah, Jeremy Teti memang saya akui memiliki cirikhas sendiri dalam membaca berita. Saya jadi ingat apa yang dilakukan Jeremy Teti kepada perilaku teman (cewek) nongkrong saya. Sebelum ia mengenal sosok Jeremy Teti sebagai anchor di sebuah tayangan berita di salah satu stasiun televisi Swasta Nasional, pulang pagi dari warung kopi sudah biasa dilakukannya. Nah, begitu dia tahu jam 11 malam itu jam nongolnya Jeremy Tety, sejak saat itulah dia tidak pernah lagi nongkrong sampe malam di warung. macak cinderella, dia sudah merengek-rengek sama pacarnya supaya diantarkan ke kos.

Jadi, sodara-sodara berhati-hatilah mengisi BBM, agar kendaraan yang anda isi tidak (diisi oleh) BBM CAMPURAN :D
Tuesday 18 June 2013
Posted by AnovA

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © anovanisme -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -