Posted by : AnovA Wednesday, 19 June 2013

Berawal dari kicauan mbak @pengantenanyar eh @memethmeong :p,

Lebih efektif mana ya utk mengubah perilaku, konsep reward & punishment-nya surga neraka atau konsep karma?

saya terlibat percakapan (yang menurut saya cukup) seru dengannya tentang mengubah perilaku. Well, kalo ngobrolin masalah perilaku (behavior) manusia, setahu saya bisa dikuak dalam tiga ranah, ranah Sosiologi, Politik dan Psikologi. Pertanyaan mbak @memethmeong sangat menarik bagi saya karena pertama opsi yang ia tawarkan berhubungan dengan agama, yang kedua ketika saya tanya konteks behavior yang mana, ia menjawab behavior level individu. Oke, jadi ada sudut pandang untuk melihat perilaku manusia dari sudut pandang religius.

Behavior iki opo?
Behavior secara Google translate dapat diartikan sebagai perilaku dalam Bahasa Indonesia. Perilaku tentu saja tidak terbatas pada manusia saja namun juga pada semua mahluk. Manusia (khususnya scientist) percaya kalo perilaku itu merupakan tindakan terpola, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat di antara keduanya. Hal tersebut mengakibatkan munculnya banyak teori mengenai pola-pola perilaku, dari perilaku masyarakat (collective behavior), hingga individu (Behaviorism-nya B.F Skinner).

Argumen Apologetik Blaise Pascal
Opsi Karma dan Reward Punishment yang diajukan mbak @memethmeong, semula saya pikir akan efektif ketika eksistensi Tuhan (yang berperan sebagai judge) tidak diketahui. Namun, saya teringat presentasi kelompoknya @kiranhernanda dkk, ketika membahas salah satu filsuf, penulis, matematikawan, fisikawan, scientist Prancis abad XVII, Blaise Pascal. Pascal pernah mengajukan argumen apologetik* yang biasa disebut Pascal's Wager. Pascal berpendapat bahwa manusia semua bertaruh dengan kehidupan mereka, baik dengan asumsi Tuhan ada atau tidak ada. Begini argumennya:
1. Bila anda percaya akan Tuhan dan Tuhan itu ternyata ada, maka anda beruntung dan akan masuk surga.
2. Bila anda percaya akan Tuhan dan Tuhan itu ternyata tidak ada, maka anda tidak akan rugi.
3. Bila anda tidak percaya akan Tuhan dan ternyata Tuhan itu ada, maka anda rugi dan akan masuk neraka
4. Bila anda tidak percaya akan Tuhan dan ternyata Tuhan itu tidak ada, maka tidak akan terjadi apa-apa.

Konsep tersebut sama dengan konsep karma dalam agama India dan Surga dan Neraka dalam agama Samawi (well, semua agama kayaknya ada deh). Jika Tuhan terbukti ada, maka konsep tersebut sama sekali tidak berguna karena semua manusia akan berbuat baik. Sebaliknya jika Tuhan tidak ada maka konsep tersebut juga sama tidak bergunanya karena kekosongan peran Tuhan untuk memberikan judgement mana yang baik dan mana yang buruk.

Argumen apologetik Pascal tersebut tentu saja bukan tanpa kritik. Pengkritiknya tidak hanya dari kalangan yang "tidak percaya" namun juga kaum agamawan saat itu. Kritik yang muncul antara lain:
1. Argumen Pascal nampak seperti transaksi antara kepercayaan dan keberadaan Tuhan. Tuhan akan menukar kepercayaan manusia dengan surga. Hal ini menimbulkan "pengabdian" semu antara manusia kepada Tuhan.
2. Setiap agama memiliki konsep Tuhan dan kebenarannya masing-masing. Otomatis hal tersebut memberikan satu variabel "Tuhan yang mana" yang menjadi "judge" dalam taruhan tersebut, juga menambah resiko manusia masuk neraka jika percaya pada Tuhan yang salah.
3. Salah satu variabel dalam argumen Pascal tersebut adalah kepercayaan. Sementara kepercayaan sendiri bukan sesuatu hal yang dapat dikontrol. Dalam konteks kritik, seseorang bisa saja beribadah, tapi jika memang tidak percaya, maka seluruh ibadah tidak akan dilandaskan pada ketulusan.

Karma
Konsep karma pada dasarnya adalah konsep sebab akibat dalam lingkaran kehidupan (samsara). Konsep ini berkembang di agama yang berasal dari kebudayaan India kuno seperti Hindu, Jainisme, Budha, dan Sikh (konsep yang sama ditemukan di beberapa agama yang berasal dari Asia). Konsep dasarnya adalah jika anda berbuat baik maka akan mendapatkan kebaikan, dan sebaliknya. Lalu bagaimana jika di ujung hayat anda melakukan karma yang baik, apakah anda tidak mendapatkan karma? 
Berbeda dengan lingkaran kehidupan dalam agama samawi yang berbentuk linier (ada konsep Awal dan Akhir, Alpha dan Omega). Lingkaran Samsara ini berbentuk lingkaran dan bersifat infinitif. Tujuan dari agama-agama ini justru pada pelepasan diri dari samsara (mokhsa). Karma akan dibalaskan dalam kehidupan berikutnya (reinkarnasi) jika manusia masih terjebak dalam pusaran samsara. Karma bukanlah hukuman namun lebih kepada konsekuensi perilaku.

Reward and Punishment
Reward and Punishment justru menjebak manusia dalam ranah ritual untuk menjaga relasi hubungan vertikal antara Manusia dan Tuhan. Manusia beribadah untuk dirinya sendiri bukan untuk sesamanya. Padahal semua agama justru menekankan pentingnya manusia mengasihi sesamanya. Agama Budha mengajak manusia untuk membahagiakan semua makhluk (sabbe satta bhavantu sukhitatta = semoga semua makhluk hidup berbahagia). Agama Nasrani mengajarkan untuk mengasihi sesama manusia (Mat 22:39 "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"). Agama Islam mengajarkan mengasihi sesama mukmin (QS 49:10 "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat."). 

Dengan menjaga hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya, maka hubungan vertikal dengan Tuhan otomatis akan terjaga. Hal inilah yang mungkin kurang disadari oleh Manusia. Seolah hidup ini merupakan kompetisi menuju Surga. Manusia terjebak dalam ritual-ritual ibadah, dengan motivasi menuju surga, melupakan hubungan horizontal dengan sesamanya. 

Mengatur perilaku melalui Kesadaran Religius
Perilaku manusia jika diatur melalui kedua konsep tersebut maka action yang ia lakukan akan dilakukan tanpa ketulusan. Konsep tersebut muncul untuk mendorong (bukan mengatur) manusia untuk selalu berbuat baik pada sesamanya. Sayangnya kesadaran religius yang bersifat universal itu justru direduksi oleh manusia sendiri, sehingga manusia sering terjebak dalam ritual ibadah. Namun jika kesadaran religius tersebut dipahami secara utuh, perilaku manusia akan lebih terjaga. Toh pada dasarnya manusia sudah disangoni** oleh hati nurani. Walaupun hati nurani sendiri seringkali tidak didengarkan oleh manusia sendiri.



Keterangan:
*Apologetik: pembelaan iman
** disangoni: dibekali

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Labels

- Copyright © anovanisme -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -