- Back to Home »
- Analisis , Sepakbola »
- Der Klassiker di Final?
Undian UEFA Champion League mempertemukan dua tim asal Spanyol dan tim asal Jerman. FC Bayern Muenchen bersua dengan FC Barcelona dan Borussia Dortmund kembali bersua dengan Real Madrid. Kedua laga diprediksi akan berlangsung dengan ketat.
Muenchen dan Barcelona adalah dua tim dengan rata-rata possesion ball tertinggi di UCL. Menarik disimak bagaimana keduanya saling beradu strategi untuk bersaing ball possesion di lapangan. Dengan materi pemain yang komplet untuk menunjang permainannya Bayern Muenchen bukanlah tim kemaren sore yang bisa ditaklukkan oleh Barcelona. Sementara Barcelona sendiri tentu saja tidak bisa dipandang remeh meskipun dominasi Barcelona era Villanova mungkin tak seperti Barcelona era Pep Guardiola.
4-2-3-1 vs 4-3-3
Di Liga BBVA, formasi 4-2-3-1 musim ini menjadi formasi yang paling banyak dipakai oleh tim-tim peserta La Liga untuk menghadapi Barcelona. Meskipun tak semuanya berakhir dengan kemenangan. Keseimbangan penyerangan dan pertahanan dengan adanya dua Holding Midfielder, keleluasaan Attacking Midfielder untuk menyerang balik melalui tengah atau kedua sisi lapangan menjadi keunggulan formasi 4-2-3-1 dan menjadi kunci dalam meredam agresifitas formasi 4-3-3 khas Barcelona.
Kedua gelandang bertahan Bayern Muenchen, Javi Martinez dan
Bastian Schweinteiger akan bekerja keras menahan kreatifitas Xavi Hernandez dan Andres Iniesta. Sementara Messi akan dibantu David Villa dan Pedro Rodriguez akan bekerja membongkar pertahanan tim asal Bavaria yang dikomando Phillip Lahm.
Perlu diingat, bahwa Bayern Muenchen dan Real Madrid adalah dua tim yang mampu menerapkan sistem 4-2-3-1 dengan sangat baik. Javi Martinez dan Bastian Schweinteiger memiliki peran yang sangat besar dalam mengemban tugas sebagai Holding Midfielder untuk menutup celah di lini belakang, sekaligus menjadi inisiator serangan.
Barcelona sendiri yang fasih menggunakan 4-3-3 tentu tidak dapat diremehkan begitu saja. 4-3-3 Barcelona adalah 4-3-3 istimewa yang dikembangkan oleh Pep Guardiola yang musim depan dipastikan akan menangani Bayern Muenchen. 4-3-3 Barcelona sangat agresif dalam menyerang sekaligus mampu menahan counter attack dari lawannya. Hal ini tercermin dalam 98 gol yang dilesakkan Barcelona hingga jornada ke 31 di La Liga. Agresifitas dalam bertahan pun juga ditunjukan melalui pressing yang langsung dilakukan oleh pemain Barcelona saat kehilangan bola. Kebobolan 33 gol hingga jornada ke 31 adalah yang terbaik ke tiga setelah dua tim ibukota, Atletico Madrid dan Real Madrid.
4-3-3 yang pada dasarnya sangat cocok untuk melakukan serangan balik diubah Pep Guardiola menjadi formasi yang sangat fasih melakukan posession football. Dengan formasi ini Pep Guardiola membawa Barcelona menguasai dunia.
Messi-dependensi
Barcelona mungkin perlu mewaspadai penyakit ketergantungan kepada Lionel Messi. Sang Messiah benar-benar menjadi tumpuan dalam 46 laga bersama El Barca. Terbukti dari 98 gol Barcelona di ajang La Liga, 43 gol dicetak atas nama pemain bernomor punggung 10 ini.
Bayern Muenchen perlu mewaspadai kehadiran pemain Argentina ini. Pada laga perempat final antara Barcelona dan PSG, Messi yang baru masuk pada menit ke-61 menjadi inisiator gol balasan yang dicetak Pedro Rodriguez. Messi mampu menarik perhatian lini belakang PSG sehingga Pedro mampu menemukan celah dan mencetak gol.
Bayern Muenchen perlu berkaca pada rival Barcelona, Real Madrid yang sukses mengalahkan Barcelona dalam dua El Classico terakhir, dan Intermilan pada leg I semifinal UCL 2010 yang sama-sama menerapkan 4-2-3-1 untuk menahan 4-3-3 Barcelona.
Kedalaman Squad yang Mumpuni
Bayern Muenchen didukung dengan pemain-pemain kelas dunia di semua lini, Materi pemain oke menjadikan Bayern kuat di segala sektor, mulai dari
penjaga gawang, lini belakang, sampai ujung tombak. Die Roten
bahkan bisa dikatakan sebagai tim paling seimbang di antara para
semi-finalis Liga Champions lainnya.
Di bawah mistar berdiri
kiper nomor satu Jerman, Manuel Neuer. Sementara garis pertahanan yang
ditinggal Badstuber akibat cedera panjang menjadi milik kapten Philipp
Lahm, Daniel van Buyten/Jerome Boateng, Dante, serta David Alaba.
Double pivot yang menjadi kunci skema 4-2-3-1, Javi Martinez dan Bastian Schweinsteiger, yang tak hanya tangguh melindungi back-four tapi juga cermat dalam mendistribusikan bola. Dengan cederanya Toni Kroos, Arjen Robben kembali masuk tim inti
sebagai trio penyokong di belakang striker bersama Thomas Muller dan
Franck Ribery.
Sementara Mandzukic sukses merebut posisi utama di
lini serang, karena selain jago menyerang, ia juga fasih memainkan peran
sebagai "bek" pertama saat tim kehilangan bola. Bomber Kroasia itu akan
absen dalam leg pertama melawan Barcelona di semi-final, namun sosok terpinggirkan, Mario Gomez, siap unjuk gigi. Sehingga bukan mustahil Bayern Muenchen akan mampu menaklukkan Barcelona.
4-2-3-1 vs 4-2-3-1
Sementara itu laga lain mempertemukan peringkat dua Bundesliga dan La Liga, Borussia Dortmund dan Real Madrid. Kedua tim sempat bertemu di babak penyisihan grup D. Nama besar Real Madrid tidak menjadi jaminan tim asal ibukota Spanyol itu melenggang mulus di semifinal. Dortmund menorehkan rekor belum terkalahkan di UCL musim ini. Sebuah hal yang tidak bisa dipandang remeh. Dalam dua pertemuan di babak penyisihan grup pun Real Madrid tidak mampu menaklukkan Die Borrusen.
Namun bukan berarti Borussia Dortmund akan dengan mudah melaju ke final. El Real di semifinal berbeda dengan El Real di penyisihan. Apalagi Real Madrid berambisi untuk meraih La Decima, trofi liga champion ke sepuluh, dan Jose Mourinho pun memiliki ambisi pribadi untuk mencetak rekor menjuarai liga champion ketiga kalinya dengan tiga tim berbeda.
Di atas kertas, Los Galacticos memiliki squad yang lebih mumpuni daripada Dortmund. Namun racikan Juergen Klopp dan status kuda hitam Borussia Dortmund menjadi kelebihan tim Jerman ini dalam melawan raksasa Spanyol.
Kedua tim sama-sama menggunakan 4-2-3-1, bisa diprediksi pertempuran di lini tengah akan berlangsung sengit. Lini tengah Madrid yang dikomando oleh Mezut Oezil dan Xabi Alonso akan berhadapan langsung dengan lini tengah Dortmund yang dikomando Ilkay Gudogan dan duet Marco Reus dan Mario Goetze.
Efisien dan Mematikan
Sepakbola Jerman dianggap identik
dengan permainan monoton dan text book layaknya robot. Namun apa yang
diperlihatkan Dortmund di musim ini berbeda dengan anggapan tersebut. Dortmund
bermain lebih efisien dengan skema 4-2-3-1, dan tidak perlu terlalu
lama menguasai bola. Saat menguasai bola, para pemain melakukan satu-dua
sentuhan cepat, dan tiba-tiba sudah berada di depan gawang lawan.
Ketika
kehilangan bola, Dortmund langsung melakukan tekanan ke pemain lawan.
Mereka juga beberapa kali menunggu lawan menjadi lengah, dan selanjutnya
melakukan serangan balik mematikan.
Dortmund juga memiliki duet Marco
Reus dan Mario Goetze di lini tengah. Marco Reus
bersama Mario Gotze menjadi sosok penting dalam serangan Dortmund. Reus dan Gotze bergantian menjalankan peran pengatur serangan yang diemban Shinji Kagawa musim lalu. Bahkan, duet itu lebih dahsyat dibandingkan
pendahulunya.Gotze bertindak sebagai pengatur permainan. Pemain
termuda di starting line-up ini tidak hanya bertugas sebagai pemberi
umpan bagi Robert Lewandowski, namun juga pencetak gol. Hal
serupa juga diperlihatkan Reus. Walau lebih kerap berperan sebagai
pemain bernomor 9, Reus juga memiliki kemampuan untuk menjadi pengumpan
andal. Pertukaran peran kedua pemain ini sering membuat lawan
kebingungan.
Ambisi La Decima
Sementara Real Madrid memiliki ambisi meraih La Decima, gelar UEFA Champions League ke-10. Misi ini sebenarnya
sudah digembar gemborkan oleh Real Madrid sejak musim 2011 – 2012. Musim lalu para pemain yakin dapat merengkuh trophy
ke-10nya, tetapi di semi-final mereka harus mengakui kehebatan Bayern
Munchen yang mengalahkan mereka lewat drama adu penalti dengan skor 3 –
1. Misi La Decima sendiri masih ingin dicapai oleh para pemain Real
Madrid begitu pula para fans dan manajemen. Tak ayal pula sang pelatih
Jose Mourinho juga mengidam-ngidamkan gelar ke-10, dengan mengubahnya
semua dengan angka 10, seperti latihan pagi diganti menjadi jam 10 dan bahkan ketika Madrid bertandang ke Signal Iduna Park, markas
Borussia Dortmund dalam penyisihan UCL musim ini, Jose Mourinho duduk dekat kabin dengan nomor bangku
10D, yang merupakan kata depan dari ‘Decima’.
Menjadi juara UCL untuk kali kesepuluh adalah motivasi terbesar yang dimiliki Madrid sejak terakhir kali juara musim 2001/02. Tentu tidak ada waktu yang lebih tepat melakukannya
dibandingkan dengan saat ini ketika mereka memiliki sosok seperti Cristiano Ronaldo, Iker
Casillas, Sergio Ramos, dan Xabi Alonso yang kenyang pengalaman merebut
gelar juara; serta bintang-bintang internasional seperti Karim Benzema,
Angel Di Maria, dan Mesut Ozil, juga pelatih handal Jose Mourinho yang telah mengantarkan FC Porto dan Internazionale menjadi Juara UCL. Apalagi kemungkinan menjadi kampiun di La Liga sudah sangat tipis sekali. Gelar La Decima akan membuat Los Galaticos masih bisa tersenyum di akhir musim.
Selain itu kemungkinan pelatih asal Portugal itu hengkang dari Santiago Bernabeu di akhir
musim - apapun prestasi yang diraih Si Putih menjadi tambahan motivasi terendiri bagi sang Entrenador. Gelar La
Decima di ajang tertinggi sepakbola Eropa akan menjadi kado perpisahan
yang takkan dilupakan publik Madrid dalam buku sejarah.
Final Ideal
Siapa diantara 4 tim tangguh tersebut yang akan meraih La Orejana? Jawabannya tentu saja harus menanti Final tanggal 25 Mei mendatang. Keempat tim memilik kans yang sama besar. Namun hanya ada dua tim yang dapat melaju ke babak berikutnya, dan akan bertarung di Wembley, menjadi yang terbaik di Eropa.
Melihat rekam jejak keempat tim, tentu saja kita sebagai penikmat bola dapat berharap tiga pertandingan terakhir UCL musim ini akan berjalan seru. Semoga saja tidak terjadi kontroversi di semi final dan final besok.
Salam Olahraga!
Dalam kondisi normal, gw pingin finalnya Bayer x Madrid (bosen liat Barca masuk final), tapi, berhubung koefisien Italia makin ketinggalan dari Jerman, maka kali ini gw berharap finalnya El Classico aja dah..
ReplyDeleteMenurut analisis saya (macak analis bal2an :D)
ReplyDeleteYang membuat prestasi Italia gitu-gitu aja sih sebenarnya lebih terkait dengan sistem penyelenggaraan kompetisi yang masih kayak gitu-gitu aja.
jika dibandingkan dengan Inggris ato Jerman ato Spanyol yang lebih berbasis industri (ato lebih tepatnya kapitalisme sepakbola), Itali sangat tertinggal jauh.
ini menarik untuk dibahas dalam artikel tersendiri :D